Foto:
BANJARBARU – Sampai saat ini, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Walikota
di Kota Banjarbaru masih menjadi sorotan. KPU mengeluarkan Keputusan
KPU Nomor 1774 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan
dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Keputusan
ini ditetapkan Ketua KPU Mochammad Afifuddin pada 23 November 2024.
Dalam
Keputusan No 1774/2024 terkait penghitungan suara dijelaskan tentang
kategori suara sah dan tidak sah. Pada poin 5 disebutkan, dalam hal
ketua KPPS menemukan surat suara pemilihan yang dicoblos pada satu kolom
pasangan calon yang memuat nomor urut, foto, atau nama pasangan calon
yang dibatalkan karena adanya rekomendasi Bawaslu atau putusan lembaga
peradilan, suara pada surat suara tersebut dinyatakan tidak sah.
DR.
Wayan Suka dari Universitas Airlangga Surabaya memandang bahwa dikte
hukum atas politik adalah salah satu kata pendek dari gagasan negara
hukum sejalan dengan dikte konstitusi atas demokrasi dalam istilah
demokrasi konstitusional. Tema sentralnya adalah “validitas” atau
“keabsahan” setiap proses politik berdasarkan dikte otoritas legal.
Termasuk
keabsahan penyelenggaraan pilkada 2024 Kota Banjarbaru, Kalimantan
Selatan, dengan demikian seharusnya diawali dengan salah satu proposisi
norma hukum paling dasar, yaitu bahwa “setiap pelanggar hukum tidak
boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah.”
Statutory law (UU
Pilkada) diantaranya mentransform norma hukum tersebut sebagai mekanisme
diskualifikasi, yaitu bahwa setiap pasangan calon kepala daerah yang
melanggar hukum dapat bahkan harus didiskualifikasi keikutsertaannya in
casu sebagai pasangan calon kepala daerah.
Argumen bahwa
penyelenggaraan pilkada Kota Banjarbaru adalah tidak sah
(inkonstitusional) karena KPUD setelah melakukan diskualifikasi terhadap
salah satu pasangan calon meneruskan proses pemilihan bukan melalui
mekanisme “calon tunggal” melainkan tetap mencantumkan dalam surat suara
pasangan calon yang telah didiskualifikasi berhadapan dengan pasangan
calon yang tidak didiskualifikasi serta selanjutnya menyatakan sebagai
tidak sah seluruh perolehan suara pasangan calon terdiskualifikasi.
Menurut DR. Wayan Suka bahwa keputusan itu adalah tidak tepat misalnya berdasarkan beberapa alasan:
1.
Tempus dilakukannya diskualifikasi yang defakto tidak memungkinkan KPUD
untuk mencetak format surat suara menurut mekanisme “calon tunggal”,
demikian juga pertimbangan efisiensi anggaran, adalah beberapa situasi
bersifat khusus yang melingkupi pilkada Banjarbaru;
2. Selain
dapat dibenarkan menurut doktrin equity, situasi khusus/spesifik
tersebut dengan demikian adalah alasan sah untuk tidak menerapkan
mekanisme calon tunggal sebagaimana diatur oleh “the system of rules”
sejalan dengan pernyataan “rules are not enough”
3. Akontrario
sebagai konsekuensi lebih jauh dari situasi khusus/spesifik tersebut
diatas, penerapan mekanisme berbeda oleh KPUD in casu melanjutkan proses
pemilihan dengan tetap mencantumkan nama pasangan calon yang
terdiskualifikasi serta menyatakan tidak sah perolehan suara dari
pasangan calon yang sebelumnya telah terdiskualifikasi, walaupun hal ini
tidak eksplisit diatur oleh atau dalam “the system of rules”, bukan
berarti “tidak boleh”;
4. Telah diberitahukan/diumumkannya oleh
KPUD pasangan calon terdiskualifikasi kepada setiap pemilih sebelum
mereka menggunakan hak pilih menyebabkan sah pernyataan tidak sah KPUD
terhadap surat suara yang diperoleh pasangan calon terdiskualifikasi;
5.
In casu, misalnya dengan dipilihnya kotak kosong oleh para pemilih
pasangan calon yang terdiskualifikasi, mekanisme calon tunggal justru
memungkinkan pasangan calon tak terdiskualifikasi dapat dikalahkan oleh
pasangan calon yang justru terdiskualifikasi;
6. Kekalahan
pasangan calon tak terdiskualifikasi oleh pasangan calon
terdiskualifikasi adalah nama lain dari dominasi politik atas hukum,
setidaknya dominasi demokrasi atas legal;
KPUD terlihat telah
bekerja tidak hanya menurut the system of rules melainkan juga menurut
“the system of principle”—”setiap orang yang melanggar hukum tidak boleh
mencalonkan diri”.
Hal ini kontras dengan argumen-argumen
kontra-legal yang menginginkan sebagai “sah” perolehan suara atas
pasangan calon terdiskualifikasi menurut mekanisme pemilihan calon
tunggal, atau argumen-argumen kontra-konstitusi yang simplistis dan
dangkal justru mendalilkan inkonstitusional penerapan mekanisme
pemilihan menurut “the system of principle” diatas.
Nama lain
dari model-model argumen ini adalah menyatakan “sah” atas sesuatu yang
“tidak sah”, dan bahwa pernyataan “sah” adalah “sah” hanya menurut
aturan enumeratif the system of rules.