
Foto:
Banjarbaru - Kasus hukum yang menjerat Ketua Lembaga Pemantau Pemilihan Republik Indonesia (LPRI) Kalimantan Selatan, Syarifah Hayana, akhirnya mencapai babak akhir. Pada sidang pembacaan putusan yang digelar Selasa (17/6/2025) di Pengadilan Negeri Banjarbaru, majelis hakim memutuskan terdakwa bersalah atas pelanggaran hukum dalam aktivitas pemantauan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Banjarbaru.
Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Rakhmad Dwinanto, S.H., M.H. menjatuhkan vonis pidana penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Rp36 juta. Namun, dengan mempertimbangkan berbagai faktor meringankan, majelis memutuskan bahwa pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani, kecuali jika dalam masa percobaan 2 tahun terdakwa kembali melakukan pelanggaran hukum.
“Tindakan terdakwa memang terbukti melanggar, namun dilakukan dalam konteks kelalaian, bukan kehendak jahat,” jelas Hakim Rakhmad dalam pertimbangannya.
Dalam perkara ini, Syarifah dianggap lalai karena membiarkan publikasi hasil penghitungan suara yang tidak berasal dari quick count resmi dan tidak melalui koordinasi ketat. Hasil tersebut kemudian menyebar ke ruang publik dan memunculkan perdebatan, meskipun tidak berujung pada kekacauan.
Hakim menegaskan bahwa meskipun tidak terjadi kericuhan, setiap tindakan publikasi terkait hasil pemilu tetap harus mengikuti norma hukum dan etika. Pemantau pemilu tidak berwenang merilis data yang dapat diinterpretasikan sebagai hasil resmi, kecuali dilakukan oleh pihak yang memiliki legitimasi sesuai undang-undang.
Salah satu alasan majelis tidak menjatuhkan pidana penjara yang harus dijalani adalah karena terdakwa dinilai memiliki itikad baik, tidak memprovokasi, serta tidak memiliki niat jahat. Bahkan, terdakwa disebut sebagai tulang punggung keluarga, yang selama ini berperan aktif dalam kegiatan sosial.
“Fungsi pemantauan harus dilakukan secara hati-hati. Setiap informasi yang disampaikan ke publik dari lembaga pemantau wajib akurat dan tidak menimbulkan multitafsir. Kelalaian tetap memiliki konsekuensi hukum,” papar hakim.
Meski vonis tergolong ringan dan tidak menimbulkan konsekuensi langsung berupa penahanan, tim kuasa hukum Syarifah menyatakan belum menyatakan sikap akhir. Mereka memilih untuk mempelajari salinan putusan terlebih dahulu sebelum memutuskan apakah akan menerima atau mengajukan banding.
“Kami masih berada dalam masa pikir-pikir tiga hari yang diberikan hakim. Kami akan pelajari seluruh isi putusan secara komprehensif,” ujar Dr. Muhammad Pazri, S.H., M.H., selaku kuasa hukum.
Menurut Pazri, informasi yang dipersoalkan dalam perkara ini bukanlah hasil yang dirancang oleh kliennya. Bahkan, Syarifah disebut sempat meminta agar konten yang tersebar segera diturunkan (take down), sebagai bentuk tanggung jawab moral dan kepedulian terhadap stabilitas demokrasi.
Vonis ini menjadi pengingat serius bagi seluruh lembaga pemantau pemilu di Indonesia. Peran pemantau sangat penting dalam demokrasi, namun harus dijalankan dalam koridor hukum yang ketat. Pelanggaran terhadap batas kewenangan, sekalipun tanpa niat buruk, tetap dapat berujung pada jerat hukum.
Sejumlah pegiat pemilu menilai bahwa putusan ini akan menjadi preseden penting menjelang pelaksanaan Pemilu Serentak 2029, di mana keterlibatan organisasi pemantau akan kembali meningkat.
Dalam situasi digital yang cepat dan penuh disinformasi, pemantau pemilu diharapkan bisa semakin profesional dan disiplin dalam menjaga kredibilitas data serta menjaga netralitas informasi yang dibagikan ke masyarakat.