Pertemuan Megawati-Prabowo Bisa Jaga Stabilitas Politik


Foto: Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri di Teuku Umar pasca Pilpres 2019.

Pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Presiden terpilih Prabowo Subianto demi kepentingan stabilitas politik.

“Meskipun ini pertemuan dalam frame simbiosis mutualisme, karena sama-sama mendapat keuntungan dan insentif politik dari pertemuan ini, tetapi yang lebih diuntungkan adalah Prabowo karena posisi Prabowo saat ini adalah Presiden terpilih yang sangat membutuhkan stabilitas politik,” kata Mikhael Raja Muda Bataona di Kupang, Rabu.

Terkait rencana pertemuan Megawati dan Prabowo itu, dia menilai demonstrasi menolak revisi UU Pilkada hingga chaos karena kemarahan mahasiswa dan rakyat beberapa waktu lalu telah menjadi alarm yang nyata bagi Prabowo bahwa ketika PDIP dan Megawati dibiarkan sendirian dan dekat dengan civil society, masyarakat kampus dan para kelas menengah yang aktif di media sosial, guncangan politik itu bisa meletup kapan saja dan bisa membahayakan pemerintahan.

Karena itu, sowan dan bertemu Megawati adalah strategi memeluk lawan politik yang pernah menjadi sahabat karib, kata Bataona.

“Jadi, menurut saya, yang lebih membutuhkan pertemuan ini adalah Prabowo. Dari perspektif urgen dan pentingnya pertemuan ini maka pertemuan ini akan terjadi di injury time atau dalam pekan-pekan sebelum pelantikan Prabowo,” katanya.

Mengapa Prabowo sangat membutuhkan stabilitas politik? Prabowo paham bahwa tantangan perekonomian negara dengan utang yang sangat besar lebih dari Rp8 ribu triliun, membutuhkan stabilitas politik agar pemerintah bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Menurut dia, adanya stabilitas politik untuk bisa memulai kepimpinan dengan baik itu hanya bisa terjadi jika Megawati sebagai ikon PDIP bisa dirangkul.

Bahwa meski residu politik akibat Pilpres kemarin masih akan ada, tapi letupannya bisa diminimalkan lewat ikon PDIP, yaitu Megawati.

“Saya kira Prabowo mengalami semacam rasa kurang percaya diri jika memulai kepemimpinan tanpa restu Megawati. Rivalitas Prabowo dan Megawati dalam Pilpres kemarin menjadi panas bukan karena variabel Prabowo tapi karena Jokowi dan Gibran, sehingga Prabowo sungguh membutuhkan pertemuan ini,” katanya.

Apalagi dalam bahasa Prabowo, oposisi adalah gaya demokrasi liberal Eropa dan Amerika yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

“Sehingga Prabowo dalam amatan saya, terlihat tidak ingin ada oposisi. Dia ingin memimpin dengan aman dan tanpa gangguan. Ini semacam gen Orde Baru yang didekontekstualisasikan atau ditransfirmasikan Prabowo ke konteks saat ini demi pertumbuhan ekonomi karena Prabowo belajar bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa stabilitas politik itu sangatlah sulit,” katanya.

Dengan demikian Megawati berada pada posisi yang lebih diuntungkan secara politik karena stabilitas politik sedang menjadi kebutuhan utama Prabowo.

Meskipun demikian, Megawati juga membutuhkan pertemuan ini untuk bisa menyampaikan pemikirannya tentang hukum, demokrasi dan sistem Tata Negara yang saat ini di masa Jokowi, apalagi banyak kader PDIP yang dicurigai sedang bermasalah secara hukum karena ada tangan kekuasaan yang bermain.

Dengan demokrasi saat ini yang oleh masyarakat dan netizen, dipandang sudah demikian rusak dan mundur, maka Megawati merasa perlu menyampaikan itu kepada Prabowo karena secara historis, tidak ada halangan ideologis dan psikologis diantara Megawati dan Prabowo. Keduanya pernah sangat dekat dan selalu bisa bertemu.

Beda dengan Megawati dan Jokowi yang diibaratkan seperti air dan minyak yang sulit dipersatukan, maka antara Prabowo dan Megawati itu hanya ada sedikit perbedaan yang mudah didamaikan.

“Dengan sejarah panjang hubungan keduanya yang sangat baik, karena Megawatilah yang berjasa memulangkan Prabowo dari Jordania di masa lalu, maka saya kira pertemuan ini akan terjadi dan akan ada komitmen untuk saling menghormati,” kata Bataona.